Cacat Hukum dan Konstitusi, Akademisi Minta Pemkab Pandeglang Kaji Ulang Surat Edaran Mendagri

oleh -54 Dilihat
Cacat Hukum dan Konstitusi, Akademisi Minta Pemkab Pandeglang Kaji Ulang Surat Edaran Mendagri

Pandeglang | Antero.co – Dalam suasana Pandeglang yang tengah bergairah menata arah pembangunan daerah ke depan, tiba-tiba hadir sebuah kebijakan pusat yang menabrak nalar demokrasi dan membetot akal sehat publik. Adalah Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100.3/4179/SJ yang memerintahkan perpanjangan masa jabatan kepala desa secara administratif tanpa melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Kebijakan ini sontak memunculkan tanda tanya besar, benarkah ini semata keputusan birokratis, atau ada operasi politik yang sedang dijalankan?

Menanggapi situasi ini, Iding Gunadi Turtusi, seorang akademis publik asal Pandeglang, menyebut bahwa surat edaran tersebut adalah bentuk paling telanjang dari praktik kekuasaan yang mengabaikan legitimasi. Menurutnya, apa yang terjadi bukan sekadar persoalan hukum administratif, tetapi sebuah ancaman sistematis terhadap tatanan hukum demokratis dan stabilitas sosial politik di tingkat lokal.

“Surat edaran ini cacat secara hukum karena tidak berdiri di atas dasar legalitas peraturan perundang-undangan yang sah. Ia bersifat administratif, tapi dipaksa menjadi normatif, seolah bisa menggantikan proses demokrasi. Ini bukan hukum, ini simulasi hukum yang menyembunyikan ambisi kekuasaan,” tegas Iding.

Dalam pandangan filsafat hukum, kata Iding, kebijakan semacam ini adalah contoh nyata dari konflik antara legalitas dan legitimasi. Mengutip Hans Kelsen, norma hukum yang sah harus bersumber dari norma dasar (Grundnorm) yang legitimate dalam hal ini, adalah suara rakyat. Sementara Jean-Jacques Rousseau menyebut bahwa kehendak umum (volonté générale) tidak bisa digantikan oleh kehendak birokrasi. “Kekuasaan yang diperoleh tanpa pemilihan langsung hanyalah kekuasaan yang sah secara administratif, tapi cacat secara moral dan politis,” ujar Iding.

Ia menegaskan, kebijakan pengukuhan kepala desa tanpa pilkades adalah bentuk penundaan demokrasi yang tidak memiliki dasar konstitusional. Bahkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 92/PUU-XXII/2024, jelas ditegaskan bahwa perpanjangan jabatan tidak bisa diberlakukan terhadap desa yang telah menyelenggarakan Pilkades dan atau bisa di tafsirkan bagi Kepala Desa yang teleh habis masa jabatanya secara sah berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014. Namun, Surat Edaran ini justru menghidupkan kembali norma yang telah dinyatakan terbatas oleh MK, sebuah tindakan yang dalam teori hukum disebut sebagai resurrection of invalid norm, kebangkitan norma yang telah gugur demi kepentingan penguasa.

Iding menyampaikan keprihatinan bahwa kebijakan semacam ini bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. “Ini tampak seperti upaya sistematis untuk menciptakan cipta kondisi politik (cipkon) yang sengaja dilempar ke daerah agar menciptakan kekisruhan sosial. Ketika wilayah seperti Pandeglang sedang berada dalam konsentrasi pembangunan dan konsolidasi sosial, muncul kebijakan seperti ini yang menyulut instabilitas. Saya khawatir ini bukan kebijakan administratif biasa, melainkan bagian dari desain politik yang ingin memecah ketenangan,” katanya.

Untuk itu, Iding mendesak Pemerintah Kabupaten Pandeglang, khususnya Bupati dan Wakil Bupati Pandeglang, agar tidak gegabah dalam melaksanakan pengukuhan 108 Kepala Desa yang telah habis masa jabatannya. Ia meminta agar pemerintah daerah memastikan terlebih dahulu keabsahan yuridis dan etis dari Surat Edaran tersebut, serta melakukan kajian secara mendalam sebelum mengambil keputusan yang berdampak luas terhadap kepercayaan masyarakat.

“Jangan jadikan administrasi sebagai alat untuk menanggalkan prinsip demokrasi. Jangan biarkan kebijakan pusat yang tidak sah secara normatif merusak tatanan sosial lokal. Kalau ini dipaksakan, maka yang akan lahir bukan kepala desa, melainkan simbol kekuasaan yang defisit legitimasi, dan itu berbahaya bagi stabilitas politik daerah,” lanjut Iding.

Ia menutup pernyataannya dengan menyebut bahwa demokrasi tidak cukup hanya diucapkan, ia harus dihidupi melalui prosedur yang jujur. Bahwa negara hukum bukan hanya soal dokumen dan surat edaran, tapi juga tentang kepercayaan rakyat terhadap proses yang adil. “Jika kita mengorbankan legitimasi demi kenyamanan birokrasi, maka pada akhirnya kita sedang menanam benih krisis sosial di ladang hukum yang kering moral,” pungkas Iding.

(BG)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.