Kabupaten Serang | Antero.co – Program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di Desa Pagintungan, Kecamatan Jawilan, Kabupaten Serang kembali menjadi sorotan setelah ditemukan dugaan kuat penyimpangan anggaran, pemotongan material, dan indikasi praktik korupsi terstruktur. Bantuan yang bersumber dari Baznas Kabupaten Serang ini seharusnya memberikan Rp25 juta per unit kepada 20 rumah penerima manfaat, dengan total anggaran sekitar Rp500 juta. Senin (17/11/25)
Temuan mencengangkan terungkap: seluruh anggaran pembangunan RTLH ditransfer melalui rekening pribadi Kepala Desa Pagintungan, bukan melalui rekening kas desa atau rekening khusus kegiatan, sebagaimana mekanisme standar pengelolaan keuangan bantuan sosial maupun pembangunan fisik.
LSM KPK Nusantara Banten melalui Kabid Investigasi dan Monitoring, Samsul, menyampaikan bahwa pola penyaluran dan pelaksanaan program ini mengandung banyak kejanggalan, mulai dari pengurangan material, tidak sesuainya spesifikasi RAB, hingga KPM yang dipaksa menutupi biaya menggunakan uang pribadi.
KRONOLOGI DUGAAN PENYIMPANGAN
1. Anggaran RTLH cair ke rekening pribadi Kepala Desa (pertengahan 2025)
Informasi dihimpun dari sumber internal dan keterangan pihak desa. Dana RTLH sekitar Rp500 juta untuk 20 unit rumah dikirim langsung ke rekening pribadi Kepala Desa Pagintungan, bukan ke rekening resmi pemerintahan desa.
Hal ini langsung memicu dugaan penyimpangan, sebab dana publik tidak boleh dikelola secara pribadi.
2. Material dikirim sebagian, tidak sesuai RAB
Saat pembangunan dimulai, KPM hanya menerima sebagian kecil material:
Semen 10–15 sak
Besi hanya 5 batang
Kayu kualitas buruk dan jumlah minim
Keramik hanya 10 meter (harusnya 30–35 meter)
Hebel sebagian besar berupa barang “rijek”
Pasir dan split jauh di bawah kebutuhan
Padahal, RAB Rp25 juta per rumah seharusnya mencukupi pembangunan rumah sederhana ukuran 5×6 hingga tahap selesai.
3. Rumah dibongkar tanpa kesiapan material
Beberapa rumah seperti milik Ibu Suanah dan Ibu Aam dibongkar terlebih dahulu, namun material tidak datang tepat waktu.
Warga terpaksa menghentikan pekerjaan dan mengeluarkan uang pribadi.
4. KPM diminta membayar ongkos tukang sendiri
KPM di Kampung Tipar dan Leweng Kidik mengaku hanya menerima Rp1 juta – Rp2 juta untuk ongkos tukang, bahkan ada yang tidak diberi sama sekali sehingga harus membayar sendiri.
5. Laporan warga dan LSM masuk ke media, kecamatan ikut angkat suara
Setelah laporan masuk ke media dan LSM melakukan investigasi, pihak kecamatan menyatakan bahwa material harus sesuai RAB dan akan menindaklanjuti temuan ini.
ANALISA HUKUM: DUGAAN KORUPSI STRUKTURAL
Melihat kronologi dan temuan lapangan, sedikitnya ada tiga unsur hukum yang diduga terpenuhi:
1. Penyimpangan Anggaran / Penggelapan (Pasal 372 KUHP)
Dana publik sebesar Rp500 juta tidak boleh ditransfer ke rekening pribadi pejabat publik.
Penerimaan dana ke rekening pribadi sudah memenuhi unsur:
“barang sesuatu diperoleh bukan karena hak”
“dikuasai untuk diri sendiri atau orang lain”
2. Tindak Pidana Korupsi (Pasal 3 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 jo. No. 20 Tahun 2001)
Pasal 3 menyebut:
“Setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana karena jabatan yang dapat merugikan keuangan negara dapat dipidana.”
Indikasinya:
Pemotongan material
Pengurangan volume
Penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan anggaran
Dana tidak sampai maksimal kepada penerima manfaat
Warga harus menutupi kekurangan dana
Kerugian negara sangat mungkin terjadi apabila hasil audit menunjukkan nilai bangunan tidak sesuai anggaran Rp25 juta per unit.
3. Pelanggaran Mekanisme Keuangan Publik
Dana bantuan sosial, termasuk RTLH dari Baznas, tidak boleh dikelola secara pribadi.
Peraturan Baznas, Permendagri, dan peraturan keuangan desa mengatur bahwa:
Semua dana publik harus melalui rekening resmi lembaga
Harus ada laporan dan pertanggungjawaban
Penyaluran tidak boleh berbentuk uang tunai kepada pejabat
4. Dugaan Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN)
Indikasi KKN kuat:
Material pengadaan tidak jelas sumbernya
Tidak ada kontraktor resmi atau SPK
Penunjukan pemasok material tidak transparan
KPM dipaksa menyesuaikan kekurangan sendiri
Pernyataan Kades berbeda dengan temuan lapangan
PERLU PENGAWASAN KETAT: BABINSA & BHABINKAMTIBMAS HARUS TURUN
Dengan besarnya potensi penyelewengan, kegiatan RTLH di Kabupaten Serang wajib mendapat pengawasan melekat oleh:
Babinsa (TNI)
Bhabinkamtibmas (Polri)
Inspektorat Kabupaten Serang
Baznas Kabupaten Serang
Keberadaan aparat di lapangan dapat mencegah:
Pemanfaatan anggaran untuk kepentingan oknum tertentu
MEDIA DAN LSM AKAN TERUS MENGAWAL
Samsul menegaskan bahwa dengan dana Rp25 juta per rumah, bangunan ukuran 5×6 sangat cukup untuk selesai.
“Jika yang terjadi hanya adeg payung, atau material tidak lengkap, itu jelas penyimpangan. Kami akan kawal kasus ini sampai tuntas,” tegasnya.
Media sebagai kontrol sosial menegaskan bahwa dugaan korupsi seperti ini tidak boleh dibiarkan, karena merugikan masyarakat miskin yang sangat membutuhkan bantuan.
(BG)






