Publik Mana yang Terluka? Yang Bayar Pajak dan Masih Percaya Sama Kantor Desa Itu, Haruskah di Bela Yang Main Kartu Di Kantor Desa Bojong Loa, Cisoka

oleh -21 Dilihat

Kabupaten Tangerang | Antero.co – Belakangan ada yang nyeletuk, “Publik mana yang terluka? Wajar dong pegawai jenuh, manusiawi.” Bahkan ada tokoh agama yang ikut membela dengan dalih “ah itu biasa, asal bukan judi.” Baiklah, mari kita jawab santai tapi tegas: publik yang terluka itu ya kita semua yang bayar pajak, yang keringatnya dipakai beli kursi, meja, genteng, sampai gaji mereka. Dan jenuh bukan alasan untuk merusak wajah ruang pelayanan rakyat. Kantor desa itu milik rakyat, bukan warung gaple dadakan. Jenuh itu urusan pribadi, bukan alasan bikin ruang negara jadi tempat mainan.

Bonai atau Supriyadi, aktivis pemerhati kebijakan publik, menohok keras: “Jenuh itu manusiawi, tapi menormalisasi kelalaian etika atas nama kejenuhan itu bahaya. Hari ini gaple dianggap wajar, besok siapa yang bisa jamin nggak lebih parah? Jangan biasakan yang salah jadi budaya.”

Kritik yang kami naikkan di MANtv7.id tidak pernah menuduh judi, tidak menyerang pribadi. Kami bicara akhlak birokrasi, wibawa ruang pelayanan publik, dan rasa hormat pada uang rakyat. Kami hormati semua tokoh agama, tapi membenarkan pegawai main gaple hanya karena “manusiawi” itu justru membingungkan umat.

Buyung E., Adv., Kabid Humas YLPK PERARI DPD Banten, menyentil tajam: “Jurnalisme itu cermin kekuasaan, bukan kaca rias buat nutupin aib. Kalau media hanya sibuk membela tanpa menguji, kita sedang mematikan fungsi kontrol sosial dengan tangan sendiri.”

Ustad Ahmad Rustam aktivis kerohanian dan sosial mengingatkan tegas: “Amanah itu diuji justru di saat sepi. Pemimpin yang takut kepada Allah akan menjaga marwah ruang publik meski tak ada yang melihat. Membenarkan kelalaian kecil atas nama jenuh itu tanda kita sudah kalah melawan hawa nafsu.”

DICKO GUGUS TRI ANTORO PUTRA, S.H., dari Law Firm Hefi Sanjaya and Partners, menegaskan: “Secara hukum mungkin bukan pidana, tapi secara etik ini jelas penyalahgunaan fasilitas publik. Ruang negara dibangun dari uang rakyat. Hormati itu, jangan dijadikan ruang hiburan.”

Pelayanan 24 jam? Kami apresiasi. Tapi pelayanan bagus di satu sisi tidak otomatis menghapus kesalahan di sisi lain. Lucunya, ada media yang malah sibuk menurunkan klarifikasi pembelaan tanpa sedikit pun mengingatkan soal etika.

Kawan, kita ini sama-sama wartawan, jangan jadi kacamata kuda.

Fungsi pers dalam UU No.40/1999 Pasal 6 jelas: mengawasi, mengkritik, dan mengoreksi demi kepentingan umum. Kalau kita abaikan, kita sendiri yang sedang menggadaikan kehormatan profesi ini.

Main gaple mungkin terasa sepele, tapi sepele seperti inilah yang merusak kepercayaan sedikit demi sedikit. Jangan salahkan rakyat kalau nanti makin sinis pada aparatur.

Bonai kembali menegaskan: “Lebih baik disindir media sekarang daripada dipermalukan rakyat di belakang hari. Kantor desa itu simbol negara, bukan warung gaple dadakan.”

Sekali lagi, kritik ini lahir bukan karena benci. Kami peduli, karena yang kami jaga bukan nama pribadi siapa pun, tapi kehormatan jabatan dan kepercayaan masyarakat.

Dan pesan penutup dari Ustad Ahmad Rustam ini layak diingat: “Barang siapa diberi amanah publik namun tak menjaga moral di dalamnya, tunggulah kehancuran sistemnya.”

Jadi, mari berhenti mencari dalih. Jenuh, manusiawi, wajar semua itu alasan klasik. Yang rakyat mau cuma satu : keteladanan

(BG)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.