Kabupaten Tangerang | Antero.co – Klarifikasi dari Kepala Desa Bojong Loa atas viralnya video empat pria bermain kartu di dalam kantor Desa pada Sabtu (12/7/2025), semestinya menjernihkan. Tapi kenyataannya, penjelasan itu justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan dan keraguan. Dalam keterangan yang dimuat oleh media lain, Jusepta selaku Kepala Desa mengakui bahwa benar para pegawainya saat itu sedang piket dan bermain Kartu gapleh “hanya iseng” tanpa menggunakan uang. Ia menegaskan tidak ada unsur perjudian dan bahkan menyebut bahwa permainan itu bisa dicek melalui rekaman CCTV.
Namun, yang dipertanyakan publik sejak awal bukan semata tentang permainan itu judi atau bukan. Tapi soal rasa pantas soal bagaimana ruang pelayanan publik bisa berubah fungsi menjadi tempat bersantai, meski di hari libur sekalipun.
“Birokrasi itu bukan soal jam kerja tapi soal etika. Kalau kantor Desa bisa jadi tempat main kartu, lalu di mana marwah pelayanan? Publik menilai bukan dari alasan, tapi dari contoh,” ujar Bonai atau Supriyadi, aktivis dan pemerhati kebijakan publik.
Bonai menambahkan, jika seorang pemimpin menyederhanakan kritik menjadi urusan teknis semata seperti tidak ada taruhan, atau hanya iseng maka pemimpin itu telah melewatkan intisari kepercayaan publik.
“Kantor Desa itu bukan ruang keluarga. Itu simbol negara. Di situ kepercayaan rakyat digantungkan. Maka bermain, meski tanpa uang, tetap bentuk pengabaian terhadap amanah,” tegasnya.
Sementara itu, klarifikasi yang disampaikan melalui media lain juga menuai catatan tersendiri. Sebab menurut Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, ada yang disebut dengan hak jawab, yang seharusnya disampaikan langsung kepada media yang memuat pemberitaan awal.
“Kalau niatnya memang untuk meluruskan, kenapa tidak ajukan hak jawab langsung ke media pengkritik? Itu justru cara paling jujur dan sehat,” tutur Buyung E., Adv., Kabid Humas YLPK PERARI DPD Banten.
Buyung menyayangkan sikap yang terkesan defensif dan tidak menjawab substansi kritik. Ia menilai justru masyarakat makin resah karena klarifikasi tersebut lebih membela pegawai, bukan membela marwah pemerintahan Desa.
“Kami tidak menuduh ada korupsi, tidak juga menuduh judi. Tapi kami bicara soal rasa malu. Rasa hormat terhadap ruang publik. Kalau itu dianggap remeh, ya jangan heran kalau kepercayaan publik terus menurun,” katanya.
Lebih jauh, tokoh sosial dan kerohanian Ustad Ahmad Rustam juga menanggapi dari sisi moral keumatan. Menurutnya, tindakan bermain kartu di kantor Desa meski tanpa unsur taruhan tetap mencerminkan kelalaian dalam menjaga adab kekuasaan.
“Ruang pelayanan rakyat adalah ruang amanah. Jika pemimpin dan aparatnya menjadikan tempat itu untuk bersantai, maka itu pertanda hatinya sudah mulai jauh dari rasa takut kepada Allah,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa pemimpin yang tidak menjaga adab di ruang publik sedang mempertaruhkan kehormatan umat yang diwakilinya. “Pemimpin yang sungguh-sungguh akan menjaga marwahnya, bahkan ketika tidak ada yang melihat,” pungkasnya.
Media sebagai sodial kontrol tidak pernah bermaksud menjatuhkan, apalagi mempermalukan. Tapi sudah menjadi tugas kami untuk bersuara saat etika publik dilanggar, sekecil apa pun bentuknya.
Kami tetap membuka ruang hak jawab secara resmi dan proporsional. Tapi satu hal yang perlu dicatat bersama : kritik tidak akan menjadi ancaman jika dijawab dengan keteladanan, bukan pembelaan.
Untuk itu, kami menyerukan kepada pihak Kecamatan Cisoka, Inspektorat Kabupaten Tangerang, dan seluruh jajaran perangkat Desa agar tidak menormalisasi tindakan-tindakan kecil yang berpotensi mencederai nilai pengabdian birokrasi.
Dan terakhir, satu hal yang perlu diingat bersama : kritik dari media bukan bentuk permusuhan, tapi bagian dari cinta kepada negeri. Tulisan ini adalah bentuk kontrol sosial sesuai Pasal 6 UU Pers dan bagian dari fungsi jurnalisme publik. Redaksi membuka ruang hak jawab atau tanggapan resmi dari pihak Pemerintah Desa Bojong Loa.
Kalau disikapi dengan hati yang lapang, kritik justru bisa menjadi bahan bakar perbaikan. Karena yang kami jaga bukan nama, tapi kepercayaan rakyat. Dan yang kami perjuangkan bukan sensasi, tapi marwah pelayanan publik.
Kita semua sebenarnya ada di garis yang sama: pengabdi publik, bukan penguasa ruang publik.
(BG)